![]() |
Menara Hubbul Wathon |
Tahun ini tepatnya bulan April 17 nanti, kita akan dihadapkan pada satu diantara dua pilihan. Ya, pemilihan presiden
ke-8 Indonesia. Kita akan menyaksikan momen bersejarah dimana tanah air
tercinta Indonesia menentukan pilihannya, siapa-siapa yang bakal
memimpin bangsa kita kelak, siapa yang bakal ‘mengharumkan nama Indonesia’ di kancah dunia (bukankah itu impian kita?).
Jika kita berdiskursus tentang tanah air pastinya konteks
pembicaraan kita tidak jauh dari nasionalisme, bela negara, cintah tanah
air, integritas bangsa atau bagaimana caranya mengabdi untuk negara. Nasionalisme sendiri datang dari bahasa Latin Naita atau Naitas –tempat
lahir atau kampung halaman. Artinya nasionalisme secara umum adalah
tentang satu bangsa yang membicarakan tentang kampung halaman dimana dia
dilahirkan. Hal itulah yang menjadikan seseorang sebagai warga negara
Indonesia, entah dalam hal mensejahterakan bangsa atau dalam hal
‘meng-invasi’ atas nama Indonesia. Sedikit membingungkan memang, namun
jika mengkategorikan nasionalisme secara rasional hanya ada 2 pilihan
sekarang : (1) menjajah - bisa diartikan juga menjajah kampung sendiri - atau dijajah; (2) menguntungkan atau merugikan.
Dalam hal ini artiannya luas dan umum.
Seringkali saya melewati gang didaerah tempat saya
bertempat tinggal, dan sebuah ormas disitu memampang tulisan gamblang di atapnya
yang menarik perhatian saya, bunyinya “Hubbul Wathon Minal Iman” yang
dikatakan sebagai sebuah hadist – penjelasan umumnya adalah rekap ulang
perkataan Nabi Muhammad yang dibimbing sebagai sunnah. Setelah saya
telusuri arti kata dari hadist tersebut ternyata artinya : “Cinta Tanah
Air adalah Sebagian daripada Iman”, pertanyaannya apakah nasionalisme
sendiri bisa diintegrasikan dengan religi kita – dalam hal ini sebagai
sebuah Iman?
Dalam ilmu agama mungkin pengetahuan saya masih terlalu dini untuk
mempertanyakan sebuah hadist, namun di permukaan dengan sudut pandang
orang awak, sedikit banyak saya akan ungkapkan. Banyak yang beranggapan bahwa hadist tersebut adalah Hadits maudhu’ –
adalah hadits yang didustakan. Saya juga menyempatkan diri untuk
bertanya pada rekan saya, yang pemahaman ilmu agama - maqom - Islamnya terbilang above-average, menanggapi tentang hadits yang 'didustakan' ini dia mengatakan "hadits ini bukan merupakan hadits shahih, namun sifatnya hasan". Ya tidak heran memang, karena hadits ini juga yang menjadi salah satu cikal bakal berdirinya Indonesia, dengan menggemakannya di medan peran untuk meningkatkan moral para pejuang mempertahankan negara oleh KH. Hasyim Ashari dikala pergolakan dengan Belanda.
Kebenarannya tentang sebuah hadist yang dipandang sebagai produk
liberal masih saya pertanyakan bahkan sampai sekarang. Hadist yang
dianggap ‘dusta’ ini memang terlihat sebagai produk liberalisme
yang perlahan mulai "melangkahi" agama atas nama nasionalisme dan
patriotisme, detilnya inilah akar-akar budaya yang mulai mendoktrin kita
sebagai sebuah dikotomi yang membeda-bedakan satu sama lain. Namun
apakah tidak boleh menjadi "fanatis" dalam berbangsa dan bernegara?
Bahkan dulu saya sempat berfikir rela mati demi negara, haha.
Jika kita telaah, esensi dari “Hubbul Wathon Minal Iman” ini sungguh
besar, jika kita artikan tanah air yang kita tempati,
tempat yang kita tinggali sebagai amanah dari Allah SWT – mungkin ini
yang menjadi asas dasar para pejuang Islam dimasa penjajahan yang
disebut dengan “Teologi Kebebasan”. Bahkan hingga sekarang teologi
kebebasan mungkin masih berlaku di kalangan mayoritas masyarakat, atau
mungkin bisa saya sebut sebagai solidaritas kaum muslimin.
Terlepas dari kebenarannya sebagai sebuah hadist, poin yang dapat
kita ambil adalah “Hubbul Wathon Minal Iman” sebagai sebuah fundamen
religius yang layak difungsikan, terutama bagi negarawan dalam mengemban
tugasnya. Dimana negara korup, apabila dipimpin oleh muslimin yang mengabdikan dirinya secara total, menghayati benar-benar
dalam menyampaikan dan mengupayakan amanat yang diberikan oleh warga Indonesia yang memilihnya. Negara
yang musyawarah, sejahtera, adil dan makmur merupakan sebuah inspirasi
bagi warga muslim pula, dimana kita mampu menjalankan syariat dengan
khusyuk tanpa adanya keragu-raguan untuk tinggal sebagai satu bangsa. Oh ya, bukankah para imam mahzab juga menyelipkan nama kampung halamannnya pada namanya dengan bangga? Hal ini juga menjadi penyemangat dan motivasi "kecil" bagi kita, paling tidak dengan bangga untuk mengharumkan nama kampung halaman, negara juga siap memberikan yang terbaik pada agama Islam, insya Allah.
No comments:
Post a Comment