![]() |
Anatomy |
Beberapa hari yang lalu, saya
terlibat dalam sebuah diskusi menarik berkenaan dengan hukum tashwir (menggambar, memahat, dsb - kegiatannya), yang kontennya dapat
dilihat disini. Dalam sebuah diskusi
di forum tanya-jawab Quora itu, setidaknya membahas tentang lingkup
gambar-menggambar dalam islam (juga meliputi memahat, membuat patung, membuat
produk 3d yang menyerupai mahluk) atau yang kerap disebut tashwir, juga berkaitan dengan shurah
(produk yang dihasilkan dari kegiatan tashwir),
mushawwir (si pembuat). Diskusi
tersebut menanyakan tentang hukum gambar (yang notabene kebanyakan muslim) dihukumi
haram mutlak / cenderung pada kehati-hatian.
Tak lama berselang setelah saya ikut
mengkomentari salah satu thread dalam
diskusi tersebut, ternyata terdapat 2 kubu. Yang satu (kubu A) cenderung pada
yang mubah (boleh) sedang yang satu (kubu
B) menentang dan mempertanyakan kemubahan
kubu A, dengan menyertakan dalil-dalil “ketidak bolehan” menggambar dalam
islam.
***
Sedikit menyinggung background experience saya dalam bidang
gambar-menggambar. Saya sedari kecil (bahkan bocil belum TK) selalu suka
menggambar, dan saya ingat… gambar pertama yang saya gambar adalah goku dragon
ball yang gambarnya sangat jelek (dengan dagu lancip, rambut trapesium).
Setelah itu berangsur-angsur, saya menyukai gambar-menggambar dan pernah waktu
SD mengikuti lomba (for fun) dan
kalah juga membuat komik-komik di buku tulis (yang disukai teman-teman saya
sampai request kelanjutan ceritanya malahan). Dari situ skill menggambar saya perlahan tumbuh.
Ketika di jaman sekolah menengah
pertama, saya masih terus bersentuhan dengan gambar, juga masih banyak teman
saya pembaca komik buku tulis buatan saya (sampai ada yang request aneh-aneh menjurus ke porno, haha), dan saya masih suka mengeksplor
dunia gambar-menggambar. Lalu, di sekolah menengah atas, mulailah saya
berkenalan dengan dunia yang ‘sedikit agak dewasa’ (atau bisa dibilang sok
dewasa), yang mulai beranggapan kalau menggambar itu hal yang kekanak-kanakan,
sehingga saya tidak intens menggambar (hanya menggambar di rumah) tetapi tidak
pernah saya show-off kan di
lingkungan sekolah atau bahkan kawan-kawan sedikitpun (kecuali teman terdekat).
Mulailah masuk di masa-masa kuliah,
dimana saya mulai sedikit-sedikit belajar tentang seni dalam agama, kala itu saya baru belajar dari referensi Khalid
Basalamah, bersama sahabat dekat saya dari Lombok. Kami keranjingan nonton ‘dakwah
online’ kala itu, di pertengahan masa kuliah (kisaran semester 4) dengan
kegalauan & stress kuliah, mendorong pribadi untuk mencari jati diri dan
suntikan motivasi.
Entah angin apa yang berlalu, teman
saya menembak kalau menggambar itu haram tiba-tiba juga mengungkap siksa pedih
tukang gambar. Nylekit di hati
saya-lah saat itu karena saya tau, sahabat saya tau saya suka menggambar,
bahkan sahabat saya kala itu sedang bermain final
fantasy dan fans berat one piece kala itu (konyolnya). Saat itu
sakit hati saya, dan juga dengan keterpaksaan saya manifestasikan bentuk sakit
hati saya dengan berhenti meninggalkan dunia visual gambar (tanpa meninggalkan kartun dan anime / masih setengah-setengah). Kurang lebih terhitung dari saya
sekolah SMA, hingga masa kuliah saya tidak menyentuh atau menyeriusi gambar
selama kurang lebih dalam akumulasi 3-4 tahunan, karena ditembak dengan dalil
larangan gambar…
Namun perlahan menjelang penghujung
kuliah hingga beberapa tahun belakangan ini-lah saya mencari other reference berkenaan dengan gambar
menggambar, sehingga menyokong dan memantapkan hati saya untuk kembali
menggambar tanpa mengesampingkan koridor-koridor islam (jadi tidak menggambar
porno, menggambar hal-hal yang bathil).
***
Ujungnya ternyata, saya meninggalkan
gambar karena lack of references saya
kala itu, hanya bersumber dari satu ulama yang menggunakan fatwa yang kontra
saja. Nyatanya masih banyak referensi yang lain yang memperbolehkan, sehingga
sampailah pada titik saya bisa menjelaskan beberapa referensi saya Why I came back to drawing, yang mana
penjelasan referensi saya ditanyakan oleh salah satu penjawab (Olivia Mrv), saya gunakan untuk menjawab
pertanyaan berkenaan dengan benar tidaknya jawaban Olivia Mrv tentang gambar-menggambar pada situs Quora tersebut. Isi jawaban dapat disimak dibawah :
Saya coba jawab dengan semampu saya
ya mbak, berkenaan dengan salah atau
tidak? Saya tidak tahu. Berkenaan dengan fatwa saya kira saya tidak
mempunyai kapasitas untuk menjawab benar atau salahnya, karena saya sendiri
bukan lulusan dari disiplin ilmu yang berkaitan dengan agama.
Tetapi, apabila saya melihat jawaban
mbak sepertinya guru mbak merujuk pada pendapat Yusuf Qaradhawi (ulama yang posisinya bersikap di tengah) dari Al Islamu Wal Fannu atau Islam Bicara Seni (1998) – merupakan
ulama yang cukup detail dalam merinci tingkatan halal-haramnya tashwir
(kegiatannya).
Beliau setidaknya membagi menjadi
sembilan tingkatan : (1) tashwir
untuk disembah, jelas keharamannya; (2) tashwir mahluk bernyawa tidak untuk
disembah namun dibuat dengan niat menyaingi ciptaan Allah, haram; (3)
Ketiga, patung tokoh pahlawan orang suci, berpotensi diagungkan. Hukumnya
haram; (4) tashwir mahluk bernyawa berbayang (3D) tidak untuk disembah. Ini
haram kecuali untuk anak-anak;
(5) lukisan tokoh pemimpin,
pahlawan. Berpotensi diagungkan. Juga haram; (6) lukisan tidak bernyawa tapi
untuk kemewahan. Hukumnya makruh; (7) gambar 2 dimensi, tidak bernyawa. Tidak
untuk kemewahan, hukumnya boleh; (8) kedelapan, fotografi selama tidak keluar
dari koridor islam; hukumnya boleh (9) shurah (bentuk yang dihasilkan meliputi poto, lukisan, ilustrasi dan at-timtsal patung) yang dihinakan, hukumnya boleh.
Selain ulama internasional, ulama
indonesia juga membahas perkara hukum tashwir yaitu Ahmad Hassan dalam Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
Jilid 1 (2003) – merupakan tokoh PERSIS
(Persatuan Islam), Hassan membagi tashwir menjadi 5 :
Pertama,
Tashwir
haram seluruhnya – pendapat ini tertolak. Karena hadits nabi membolehkan
gambar di bantal duduk (Kata Aisyah,
“Maka kami pun memotong-motong kain bergambar tersebut untuk dijadikan bantal.”
[HR. Bukhari No. 5954]) dan mainan
patung kuda miilik aisyah (“Aku dahulu pernah bermain boneka disisi
Nabi.”[HR. Bukhari No. 1630]
Kedua,
tashwir
tiga dimensi haram, tetapi di atas kain boleh – juga tertolak, hadits mainan
patung kuda milik aisyah adalah tashwir 3d, dan itu dibolehkan Nabi.
Ketiga,
yang
haram hanya shurah yang dijadikan perhiasan
dan diagungkan saja – ini tertolak. Apa makna
diagungkan dan dijadikan perhiasan? Rasul membolehkan bantal duduk bergambar.
Bukankan itu juga perhiasan rumah?
Keempat,
yang haram hanya
shurah sempurna (utuh/tidak dibuat
cacat) yang tidak utuh, atau tidak bernyawa boleh – tertolak juga. Kalau
konteksnya yang seperti itu lebih aman dari penyembahan, bukankah banyak orang
yang menyembah benda tak bernyawa,
seperti pohon atau batu?
Kelima,
yang haram hanya
shurah yang disembah saja. Saya cenderung pada pendapat ini, karena hadits
shurah dan tashwir sangat berkaitan dengan penyembahan berhala. Apapun yang
lainnya, tidak menjadi masalah selama dalam koridor islam.
Dan masih banyak lagi pendapat, baik
yang Pro ataupun yang Kontra. Mengharamkan secara mutlak
maupun sebagian dari yang internasional, melayu maupun Indonesia. Menariknya,
MUI belum pernah mengeluarkan fatwa mengenai hukum gambar, yang ada hanyalah
fatwa no.287 tahun 2001 berkenaan dengan
pornografi dan pornoaksi yang melarang tentang fatwa bagi seniman muslim.
Muhammadiyah
pernah membahas
hukum gambar dan pernah mengharamkan memajang foto KH. Ahmad Dahlan, yang lalu
dikemudian hari diralat…
Nahdlatul
Ulama melalui Bahtsul Masail tahun 2000 di lirboyo
kediri pernah membahas mengenai hukum memajang foto ulama dan habaib, yang mana
kemudian dihukum mubah karena foto bukan shurah berbayang.
Juga fatwa beberapa lembaga fatwa
luar negeri seperti Darul Ifta
Al-Mishriyyah atau Lajnah Daimah di
Arab Saudi yang mengharamkan semua bentuk tashwir bernyawa termasuk fotografi.
Namun foto yang bersifat darurat seperti ID
Card atau foto ciri-ciri penjahat
masih diperbolehkan
Sebaliknya Darul Ifta Al-Mishriyyah di Mesir sangat luwes dan fleksibel, membolehkan nyaris semua jenis tashwir. Yang
tidak diperbolehkan hanya Dua :
Tashwir untuk penyembahan dan tashwir yang bertentangan dengan syariat islam.
Bahkan Darul Ifta mendukung pendapat
Muhammad Abduh, bahwa shurah peninggalan sejarah diperbolehkan, meski dulunya
disembah dan mujassamah (berbayang),
bahkan harus dijaga alih-alih dihancurkan. Seperti patung sphinx di Mesir
misalnya.
Lalu kembali lagi mana yang
benar/salah? Saya tidak tahu. Dalam kaidah ilmu fikih yang ada bukanlah Haq dan
Batil / yang satu surga sementara yang lainnya di neraka. Namun kaidahnya Shawab (tepat) dan Khata’ (keliru). Jadi, baik yang pro maupun kontra bisa saja benar,
karena landasannya sama-sama kuat. Fatwa yang keluar dari ulama besar atau
lembaga fatwa bukan sembarangan, tentunya sudah melalui diskusi matang dan kapasitas
ilmu dan ahlak yang sangat mumpuni.
bagaimana kita menyikap perbedaan
fatwa (ikhtilaf) ? Menurut Ibnu Sholah, seorang ulama hadits yang menjadi
rujukan dalam ilmu Mustalah Hadits
(Ilmu yang salah satunya digunakan untuk menentukan derajat sebuah hadits),
ulama besar madzhab syafii juga berpendapat ada 5 hal yang bisa dilakukan,
Pertama,
pilih yang paling
sulit, dengan pertimbangan kehati-hatian. Kedua,
pilih yang paling ringan karena Rasulullah itu sifat ajarannya adalah
‘lembut, mudah, dan toleran’ (berbeda dengan nabi musa yang dikenal keras. Baju
kena najis, harus disobek). Ketiga, pilih
fatwa dari mufti yang dia tahu paling ‘alim dan wara’ (lebih memilah-milah dari
hal-hal yang halal, bukan sekedar makruh apalagi haram). Keempat, jika ada pertentangan dua pendapat, tanya mufti yang lain.
Siapa tahu berfatwa dengan hal yang sama dengan yang difatwakan salah satu
mufti. Fatwa itulah yang diamalkan. Kelima, pilih yang mana saja.
Dalam perkara ini, Imam Nawawi juga memilih lagi dari 5
opsi diatas hanya opsi ketiga, keempat, dan lima yang menurut beliau paling
kuat. Bahkan, diantara ketiga pendapat tersebut, opsi kelima justru yang paling
kuat. Hal ini disebabkan orang awam diperintahkan untuk pertanya pada ‘Ahlul Dzkir’ (An Nahl : 43) atau ulama
yang memiliki kapasitas keilmuan. Sehingga dengan memilih fatwa yang mana pun
ketika ada perbedaan pendapat berarti dia sudah menjalankan perintah agama
untuk ‘bertanya pada ulama’.
Sementara itu referensi sanad yang saya gunakan yaitu pendapat
Buya Yahya dan Abdul Somad yang dapat diakses di :
Yang merupakan perkara yang paling
ringan di hati saya.
Saya benar-benar merasakan kegalauan
cukup panjang untuk kembali dulunya, padahal saya suka dengan seni visual dan
musik, tentunya tanpa mengesampingkan perkara-perkara dalam koridor Islam. tapi
saat ini, saya ambil perkara yang paling ringan saja untuk hati saya, sehingga
saya Enjoy menjalankan praktik ibadah tanpa terbebani hal-hal yang kurang
principle. toh banyak juga kok kartun-kartun/animasi seperti NUSSA & RARA sekarang ini
untuk keperluan dakwah islam.
Saya kira hal seperti ini perlu
untuk penyegaran dan kreatifitas penyebaran dakwah di zaman modern kini, Syaikh
Utsaimin dalam Liqaa Al-Babil Maftuh 127/soal no. 10 juga menyatakan
demikian untuk menjaga anak-anak dari sesuatu yang diharamkan, namun apabila
terdapat iringan musik tidak boleh - artinya untuk meng-counter konten negatif
yang bertebaran (baik di sosmed maupun media konvensional).
Jangan sampai pertentangan ini (atau kampanye anti-gambar) seolah-olah memunculkan stigma "orang
seni itu jauh dari agama, dan gambar dalam islam itu haram" (atau
bahasa yang lebih kasarnya Islam agama anti-budaya).
Alangkah baiknya seiring
perkembangan dinamis, kebutuhan orang-orang yang memiliki kapasitas seni untuk
menyebarluaskan Islam dan menyampaikan khazanah peradaban islam dengan cara
yang lebih segar dan kreatif - @bangdzia
Sebagian besar tulisan dikutip dan
disimpulkan dari referensi :
makasih kak udah share
ReplyDeletekapasitas bucket pc 200