Tuesday, July 30, 2019

Menggambar (Tashwir) dalam Islam, Dan Cara Saya Menyikapi Hukum Tashwir

Anatomy

Beberapa hari yang lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi menarik berkenaan dengan hukum tashwir (menggambar, memahat, dsb - kegiatannya), yang kontennya dapat dilihat disini. Dalam sebuah diskusi di forum tanya-jawab Quora itu, setidaknya membahas tentang lingkup gambar-menggambar dalam islam (juga meliputi memahat, membuat patung, membuat produk 3d yang menyerupai mahluk) atau yang kerap disebut tashwir, juga berkaitan dengan shurah (produk yang dihasilkan dari kegiatan tashwir), mushawwir (si pembuat). Diskusi tersebut menanyakan tentang hukum gambar (yang notabene kebanyakan muslim) dihukumi haram mutlak / cenderung pada kehati-hatian.

Tak lama berselang setelah saya ikut mengkomentari salah satu thread dalam diskusi tersebut, ternyata terdapat 2 kubu. Yang satu (kubu A) cenderung pada yang mubah (boleh) sedang yang satu (kubu B) menentang dan mempertanyakan kemubahan kubu A, dengan menyertakan dalil-dalil “ketidak bolehan” menggambar dalam islam.

***

Sedikit menyinggung background experience saya dalam bidang gambar-menggambar. Saya sedari kecil (bahkan bocil belum TK) selalu suka menggambar, dan saya ingat… gambar pertama yang saya gambar adalah goku dragon ball yang gambarnya sangat jelek (dengan dagu lancip, rambut trapesium). Setelah itu berangsur-angsur, saya menyukai gambar-menggambar dan pernah waktu SD mengikuti lomba (for fun) dan kalah juga membuat komik-komik di buku tulis (yang disukai teman-teman saya sampai request kelanjutan ceritanya malahan). Dari situ skill menggambar saya perlahan tumbuh.

Ketika di jaman sekolah menengah pertama, saya masih terus bersentuhan dengan gambar, juga masih banyak teman saya pembaca komik buku tulis buatan saya (sampai ada yang request aneh-aneh menjurus ke porno, haha), dan saya masih suka mengeksplor dunia gambar-menggambar. Lalu, di sekolah menengah atas, mulailah saya berkenalan dengan dunia yang ‘sedikit agak dewasa’ (atau bisa dibilang sok dewasa), yang mulai beranggapan kalau menggambar itu hal yang kekanak-kanakan, sehingga saya tidak intens menggambar (hanya menggambar di rumah) tetapi tidak pernah saya show-off kan di lingkungan sekolah atau bahkan kawan-kawan sedikitpun (kecuali teman terdekat).

Mulailah masuk di masa-masa kuliah, dimana saya mulai sedikit-sedikit belajar tentang seni dalam agama, kala itu saya baru belajar dari referensi Khalid Basalamah, bersama sahabat dekat saya dari Lombok. Kami keranjingan nonton ‘dakwah online’ kala itu, di pertengahan masa kuliah (kisaran semester 4) dengan kegalauan & stress kuliah, mendorong pribadi untuk mencari jati diri dan suntikan motivasi. 

Entah angin apa yang berlalu, teman saya menembak kalau menggambar itu haram tiba-tiba juga mengungkap siksa pedih tukang gambar. Nylekit di hati saya-lah saat itu karena saya tau, sahabat saya tau saya suka menggambar, bahkan sahabat saya kala itu sedang bermain final fantasy dan fans berat one piece kala itu (konyolnya). Saat itu sakit hati saya, dan juga dengan keterpaksaan saya manifestasikan bentuk sakit hati saya dengan berhenti meninggalkan dunia visual gambar (tanpa meninggalkan kartun dan anime / masih setengah-setengah). Kurang lebih terhitung dari saya sekolah SMA, hingga masa kuliah saya tidak menyentuh atau menyeriusi gambar selama kurang lebih dalam akumulasi 3-4 tahunan, karena ditembak dengan dalil larangan gambar… 

Namun perlahan menjelang penghujung kuliah hingga beberapa tahun belakangan ini-lah saya mencari other reference berkenaan dengan gambar menggambar, sehingga menyokong dan memantapkan hati saya untuk kembali menggambar tanpa mengesampingkan koridor-koridor islam (jadi tidak menggambar porno, menggambar hal-hal yang bathil). 

***
Ujungnya ternyata, saya meninggalkan gambar karena lack of references saya kala itu, hanya bersumber dari satu ulama yang menggunakan fatwa yang kontra saja. Nyatanya masih banyak referensi yang lain yang memperbolehkan, sehingga sampailah pada titik saya bisa menjelaskan beberapa referensi saya Why I came back to drawing, yang mana penjelasan referensi saya ditanyakan oleh salah satu penjawab (Olivia Mrv), saya gunakan untuk menjawab pertanyaan berkenaan dengan benar tidaknya jawaban Olivia Mrv tentang gambar-menggambar pada situs Quora tersebut. Isi jawaban dapat disimak dibawah :

Saya coba jawab dengan semampu saya ya mbak, berkenaan dengan salah atau tidak? Saya tidak tahu. Berkenaan dengan fatwa saya kira saya tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab benar atau salahnya, karena saya sendiri bukan lulusan dari disiplin ilmu yang berkaitan dengan agama.

Tetapi, apabila saya melihat jawaban mbak sepertinya guru mbak merujuk pada pendapat Yusuf Qaradhawi (ulama yang posisinya bersikap di tengah) dari Al Islamu Wal Fannu atau Islam Bicara Seni (1998) – merupakan ulama yang cukup detail dalam merinci tingkatan halal-haramnya tashwir (kegiatannya). 

Beliau setidaknya membagi menjadi sembilan tingkatan : (1) tashwir untuk disembah, jelas keharamannya; (2) tashwir mahluk bernyawa tidak untuk disembah namun dibuat dengan niat menyaingi ciptaan Allah, haram; (3) Ketiga, patung tokoh pahlawan orang suci, berpotensi diagungkan. Hukumnya haram; (4) tashwir mahluk bernyawa berbayang (3D) tidak untuk disembah. Ini haram kecuali untuk anak-anak

(5) lukisan tokoh pemimpin, pahlawan. Berpotensi diagungkan. Juga haram; (6) lukisan tidak bernyawa tapi untuk kemewahan. Hukumnya makruh; (7) gambar 2 dimensi, tidak bernyawa. Tidak untuk kemewahan, hukumnya boleh; (8) kedelapan, fotografi selama tidak keluar dari koridor islam; hukumnya boleh (9) shurah (bentuk yang dihasilkan meliputi poto, lukisan, ilustrasi dan at-timtsal patung) yang dihinakan, hukumnya boleh.

Selain ulama internasional, ulama indonesia juga membahas perkara hukum tashwir yaitu Ahmad Hassan dalam Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama Jilid 1 (2003) – merupakan tokoh PERSIS (Persatuan Islam), Hassan membagi tashwir menjadi 5 : 

Pertama, Tashwir haram seluruhnya pendapat ini tertolak. Karena hadits nabi membolehkan gambar di bantal duduk (Kata Aisyah, “Maka kami pun memotong-motong kain bergambar tersebut untuk dijadikan bantal.” [HR. Bukhari No. 5954]) dan mainan patung kuda miilik aisyah (“Aku dahulu pernah bermain boneka disisi Nabi.”[HR. Bukhari No. 1630]

Kedua, tashwir tiga dimensi haram, tetapi di atas kain boleh – juga tertolak, hadits mainan patung kuda milik aisyah adalah tashwir 3d, dan itu dibolehkan Nabi.

Ketiga, yang haram hanya shurah yang dijadikan perhiasan dan diagungkan saja – ini tertolak. Apa makna diagungkan dan dijadikan perhiasan? Rasul membolehkan bantal duduk bergambar. Bukankan itu juga perhiasan rumah?

Keempat, yang haram hanya shurah sempurna (utuh/tidak dibuat cacat) yang tidak utuh, atau tidak bernyawa boleh – tertolak juga. Kalau konteksnya yang seperti itu lebih aman dari penyembahan, bukankah banyak orang yang menyembah benda tak bernyawa, seperti pohon atau batu?

Kelima, yang haram hanya shurah yang disembah saja. Saya cenderung pada pendapat ini, karena hadits shurah dan tashwir sangat berkaitan dengan penyembahan berhala. Apapun yang lainnya, tidak menjadi masalah selama dalam koridor islam.

Dan masih banyak lagi pendapat, baik yang Pro ataupun yang Kontra. Mengharamkan secara mutlak maupun sebagian dari yang internasional, melayu maupun Indonesia. Menariknya, MUI belum pernah mengeluarkan fatwa mengenai hukum gambar, yang ada hanyalah fatwa no.287 tahun 2001 berkenaan dengan pornografi dan pornoaksi yang melarang tentang fatwa bagi seniman muslim.

Muhammadiyah pernah membahas hukum gambar dan pernah mengharamkan memajang foto KH. Ahmad Dahlan, yang lalu dikemudian hari diralat…

Nahdlatul Ulama melalui Bahtsul Masail tahun 2000 di lirboyo kediri pernah membahas mengenai hukum memajang foto ulama dan habaib, yang mana kemudian dihukum mubah karena foto bukan shurah berbayang.

Juga fatwa beberapa lembaga fatwa luar negeri seperti Darul Ifta Al-Mishriyyah atau Lajnah Daimah di Arab Saudi yang mengharamkan semua bentuk tashwir bernyawa termasuk fotografi. Namun foto yang bersifat darurat seperti ID Card atau foto ciri-ciri penjahat masih diperbolehkan

Sebaliknya Darul Ifta Al-Mishriyyah di Mesir sangat luwes dan fleksibel, membolehkan nyaris semua jenis tashwir. Yang tidak diperbolehkan hanya Dua : Tashwir untuk penyembahan dan tashwir yang bertentangan dengan syariat islam. 

Bahkan Darul Ifta mendukung pendapat Muhammad Abduh, bahwa shurah peninggalan sejarah diperbolehkan, meski dulunya disembah dan mujassamah (berbayang), bahkan harus dijaga alih-alih dihancurkan. Seperti patung sphinx di Mesir misalnya.

Lalu kembali lagi mana yang benar/salah? Saya tidak tahu. Dalam kaidah ilmu fikih yang ada bukanlah Haq dan Batil / yang satu surga sementara yang lainnya di neraka. Namun kaidahnya Shawab (tepat) dan Khata’ (keliru). Jadi, baik yang pro maupun kontra bisa saja benar, karena landasannya sama-sama kuat. Fatwa yang keluar dari ulama besar atau lembaga fatwa bukan sembarangan, tentunya sudah melalui diskusi matang dan kapasitas ilmu dan ahlak yang sangat mumpuni.

bagaimana kita menyikap perbedaan fatwa (ikhtilaf) ? Menurut Ibnu Sholah, seorang ulama hadits yang menjadi rujukan dalam ilmu Mustalah Hadits (Ilmu yang salah satunya digunakan untuk menentukan derajat sebuah hadits), ulama besar madzhab syafii juga berpendapat ada 5 hal yang bisa dilakukan,

Pertama, pilih yang paling sulit, dengan pertimbangan kehati-hatian. Kedua, pilih yang paling ringan karena Rasulullah itu sifat ajarannya adalah ‘lembut, mudah, dan toleran’ (berbeda dengan nabi musa yang dikenal keras. Baju kena najis, harus disobek). Ketiga, pilih fatwa dari mufti yang dia tahu paling ‘alim dan wara’ (lebih memilah-milah dari hal-hal yang halal, bukan sekedar makruh apalagi haram). Keempat, jika ada pertentangan dua pendapat, tanya mufti yang lain. Siapa tahu berfatwa dengan hal yang sama dengan yang difatwakan salah satu mufti. Fatwa itulah yang diamalkan. Kelima,  pilih yang mana saja.

Dalam perkara ini, Imam Nawawi juga memilih lagi dari 5 opsi diatas hanya opsi ketiga, keempat, dan lima yang menurut beliau paling kuat. Bahkan, diantara ketiga pendapat tersebut, opsi kelima justru yang paling kuat. Hal ini disebabkan orang awam diperintahkan untuk pertanya pada ‘Ahlul Dzkir’ (An Nahl : 43) atau ulama yang memiliki kapasitas keilmuan. Sehingga dengan memilih fatwa yang mana pun ketika ada perbedaan pendapat berarti dia sudah menjalankan perintah agama untuk ‘bertanya pada ulama’.

Sementara itu referensi sanad yang saya gunakan yaitu pendapat Buya Yahya dan Abdul Somad yang dapat diakses di :


Yang merupakan perkara yang paling ringan di hati saya.

Saya benar-benar merasakan kegalauan cukup panjang untuk kembali dulunya, padahal saya suka dengan seni visual dan musik, tentunya tanpa mengesampingkan perkara-perkara dalam koridor Islam. tapi saat ini, saya ambil perkara yang paling ringan saja untuk hati saya, sehingga saya Enjoy menjalankan praktik ibadah tanpa terbebani hal-hal yang kurang principle. toh banyak juga kok kartun-kartun/animasi seperti NUSSA & RARA sekarang ini untuk keperluan dakwah islam. 

Saya kira hal seperti ini perlu untuk penyegaran dan kreatifitas penyebaran dakwah di zaman modern kini, Syaikh Utsaimin dalam Liqaa Al-Babil Maftuh 127/soal no. 10 juga menyatakan demikian untuk menjaga anak-anak dari sesuatu yang diharamkan, namun apabila terdapat iringan musik tidak boleh - artinya untuk meng-counter konten negatif yang bertebaran (baik di sosmed maupun media konvensional). 

Jangan sampai pertentangan ini (atau kampanye anti-gambar) seolah-olah memunculkan stigma "orang seni itu jauh dari agama, dan gambar dalam islam itu haram" (atau bahasa yang lebih kasarnya Islam agama anti-budaya).

Alangkah baiknya seiring perkembangan dinamis, kebutuhan orang-orang yang memiliki kapasitas seni untuk menyebarluaskan Islam dan menyampaikan khazanah peradaban islam dengan cara yang lebih segar dan kreatif - @bangdzia

Sebagian besar tulisan dikutip dan disimpulkan dari referensi :


1 comment: